Oleh Pejabat dan Pengusaha
MUSI RAWAS- Pemanfaatan jasa premanisme yang dilakukan sebagian besar pejabat dan pengusaha di Kabupaten Musi Rawas (Mura) dan Kota Lubuklinggau seringkali berdampak pada tindakan intimidasi dan kekerasan. Hal tersebut sering terjadi ketika adanya kegiatan di salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seperti pelaksanaan tender serta aksi unjuk rasa yang dilakukan berbagai elemen masyarakat.
“Gejolak publik yang menyangkut persoalan-persoalan pemerintah baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota hampir para pengusaha mulai dari tingkat presiden, gubernur dan bupati/walikota menggunakan jasa preman. Bahkan, para pengusaha-pengusaha pusat dan daerah juga menggunakan jasa preman. Contoh, kontraktor-kontraktor dan usaha-usaha lainnya sudah menggunakan jasa preman, ini sangat tidak fair dan ekstrim,” ungkap Koordinator LSM Sumpah Undang-undang (SUU), Herman Sawiran, kepada wartawan Koran ini, Minggu (23/1).
Herman mencontohkan, jika mulai tender atau pembagian proyek di lingkungan SKPD baik Kabupaten Mura maupun Kota Lubuklinggau seperti Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Pendidikan (Disdik) bahkan Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) penuh sesak oleh preman. Kebiasaan seperti ini, kata Herman, berdampak tidak baik di mata publik dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Hasil evaluasi serta pengamatan SUU, akhir-akhir ini sangat jelas peran penguasa atau SKPD sudah mulai bergaya premanisme. Dibuktikan, setiap kali SUU melakukan aksi unjuk rasa baik ke Pemkot Lubuklinggau maupun ke Pemkab Mura serta DPRD banyak terlihat wajah preman-preman, baik yang sudah dikenal maupun tidak. Memang, jika polisi berpakaian preman, kita sudah mengenalnya. Ini preman yang banyak muncul di setiap kali aksi,” terangnya.
Hasil penelusuran LSM SUU dugaan sejumlah preman-preman tersebut hanya menjaga bos-bos mereka atau saudara-saudaranya yang didemo. Termasuk jika di saat tender, para preman ini bertugas menjaga paket-paket bos-bos mereka. Sebenarnya, menurut Herman, sah-sah saja siapapun penguasa mulai dari gubernur, bupati atau walikota serta Kadis-Kadis menggunakan jasa preman.
“Namun, ada pada tempatnya seperti disaat bepergian jauh atau saat kampanye, itu wajar dikawal preman. Ini saat aksi demonstrasi kecil-kecilan apalagi pada waktu itu hanya siswa-siswa yang melakukan unjuk rasa tetapi preman membeludak. Kita takut, ini berdampak buruk pada pelayanan publik, sebagai orang timur seolah-olah gerombolan kartel-kartel Narkoba di Meksiko, ini sangat tidak baik. Boleh-boleh saja menjaga bos-bosnya, tetapi ingat jangan melakukan intimidasi. LSM SUU berani berkata seperti ini, karena saya pribadi sering diteror dan diintimidasi sampai nyaris bentrok sewaktu Pilkada,” lanjut Herman.
Untuk itu, LSM SUU menghimbau kepada Bupati Mura dan Walikota Lubuklinggau serta Kadis kedua daerah, juga pengusaha-pengusaha untuk tidak berlebihan menggunakan jasa premanisme. Gaya-gaya penguasa menggunakan pola-pola premanisme akan merusak tatanan publik, guna preman sama dengan keamanannya bukan untuk meneror atau mengintimidasi. LSM SUU mendesak kepada aparat keamanan mulai dari Dandim 0406 Mura, Polres Mura dan Lubuklinggau untuk menghimbau atau mengundang bupati, walikota dan Ketua DPRD berkoordinasi agar penguasa maupun SKPD-SKPD tidak berlebihan menggunakan jasa premanisme.
“Kemudian yang harus dipertanyakan, apa boleh preman menggunakan pistol dan senjata tajam pada saat hadir di lokasi aksi demo. Andai mereka tidak diberi pengertian bagaimana sebaiknya menjaga bos-bosnya kan bisa fatal, maka LSM SUU meminta kepada aparat hukum memahami kenyataan ini. Untuk diketahui, ada Undang-undang (UU) yang mengatur hak dan peran serta masyarakat dalam mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, bukan mau menyakiti dan semua ini adalah hak kontrol sosial bukan mengada-ada mencari-cari kesalahan,” katanya lagi.
LSM SUU pun sudah siap menemukan risiko-risiko seperti Munir dan rekan-rekan lainnya sebagai pejuang masyarakat, nyawa terenggut di ujung peluru maupun mati di tangan preman. “Jika memang ajal mati di tangan preman atau di tangan aparat merupakan sebuah konsekuensi. Kesimpulannya mari semua jangan mudah main kekerasan, karena kekerasan pasti berakhir tidak baik, kalah jadi arang menang jadi abu,” kata Herman.
Satu hal yang harus diperhatikan, menurut Herman jangan dikira dengan menggunakan jasa preman, para LSM berhenti akan tetapi malah menjadi-jadi. Jangan sampai suatu kebijakan yang salah dalam pemerintahan mau dipaksa dengan menggunakan tekanan-tekanan dan paksaan-paksaan preman.
“Sangat aneh memang, level kepala dinas diamankan super ketat oleh para preman-preman. Jadi tidak lagi kelihatan intelektualitas selaku pemerintahan. Kalau ini terus-terusan terjadi, wibawa pemerintah akan menurun. Ingat tujuan aksi bukan untuk perang kepada individu pejabat, tetapi mengkritisi kepada institusi pemerintahan. Jadi gunakan polisi tentara mengamankan jalan aksi-aksi unjuk rasa,” pungkasnya.(06)
MUSI RAWAS- Pemanfaatan jasa premanisme yang dilakukan sebagian besar pejabat dan pengusaha di Kabupaten Musi Rawas (Mura) dan Kota Lubuklinggau seringkali berdampak pada tindakan intimidasi dan kekerasan. Hal tersebut sering terjadi ketika adanya kegiatan di salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seperti pelaksanaan tender serta aksi unjuk rasa yang dilakukan berbagai elemen masyarakat.
“Gejolak publik yang menyangkut persoalan-persoalan pemerintah baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota hampir para pengusaha mulai dari tingkat presiden, gubernur dan bupati/walikota menggunakan jasa preman. Bahkan, para pengusaha-pengusaha pusat dan daerah juga menggunakan jasa preman. Contoh, kontraktor-kontraktor dan usaha-usaha lainnya sudah menggunakan jasa preman, ini sangat tidak fair dan ekstrim,” ungkap Koordinator LSM Sumpah Undang-undang (SUU), Herman Sawiran, kepada wartawan Koran ini, Minggu (23/1).
Herman mencontohkan, jika mulai tender atau pembagian proyek di lingkungan SKPD baik Kabupaten Mura maupun Kota Lubuklinggau seperti Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Pendidikan (Disdik) bahkan Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) penuh sesak oleh preman. Kebiasaan seperti ini, kata Herman, berdampak tidak baik di mata publik dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Hasil evaluasi serta pengamatan SUU, akhir-akhir ini sangat jelas peran penguasa atau SKPD sudah mulai bergaya premanisme. Dibuktikan, setiap kali SUU melakukan aksi unjuk rasa baik ke Pemkot Lubuklinggau maupun ke Pemkab Mura serta DPRD banyak terlihat wajah preman-preman, baik yang sudah dikenal maupun tidak. Memang, jika polisi berpakaian preman, kita sudah mengenalnya. Ini preman yang banyak muncul di setiap kali aksi,” terangnya.
Hasil penelusuran LSM SUU dugaan sejumlah preman-preman tersebut hanya menjaga bos-bos mereka atau saudara-saudaranya yang didemo. Termasuk jika di saat tender, para preman ini bertugas menjaga paket-paket bos-bos mereka. Sebenarnya, menurut Herman, sah-sah saja siapapun penguasa mulai dari gubernur, bupati atau walikota serta Kadis-Kadis menggunakan jasa preman.
“Namun, ada pada tempatnya seperti disaat bepergian jauh atau saat kampanye, itu wajar dikawal preman. Ini saat aksi demonstrasi kecil-kecilan apalagi pada waktu itu hanya siswa-siswa yang melakukan unjuk rasa tetapi preman membeludak. Kita takut, ini berdampak buruk pada pelayanan publik, sebagai orang timur seolah-olah gerombolan kartel-kartel Narkoba di Meksiko, ini sangat tidak baik. Boleh-boleh saja menjaga bos-bosnya, tetapi ingat jangan melakukan intimidasi. LSM SUU berani berkata seperti ini, karena saya pribadi sering diteror dan diintimidasi sampai nyaris bentrok sewaktu Pilkada,” lanjut Herman.
Untuk itu, LSM SUU menghimbau kepada Bupati Mura dan Walikota Lubuklinggau serta Kadis kedua daerah, juga pengusaha-pengusaha untuk tidak berlebihan menggunakan jasa premanisme. Gaya-gaya penguasa menggunakan pola-pola premanisme akan merusak tatanan publik, guna preman sama dengan keamanannya bukan untuk meneror atau mengintimidasi. LSM SUU mendesak kepada aparat keamanan mulai dari Dandim 0406 Mura, Polres Mura dan Lubuklinggau untuk menghimbau atau mengundang bupati, walikota dan Ketua DPRD berkoordinasi agar penguasa maupun SKPD-SKPD tidak berlebihan menggunakan jasa premanisme.
“Kemudian yang harus dipertanyakan, apa boleh preman menggunakan pistol dan senjata tajam pada saat hadir di lokasi aksi demo. Andai mereka tidak diberi pengertian bagaimana sebaiknya menjaga bos-bosnya kan bisa fatal, maka LSM SUU meminta kepada aparat hukum memahami kenyataan ini. Untuk diketahui, ada Undang-undang (UU) yang mengatur hak dan peran serta masyarakat dalam mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, bukan mau menyakiti dan semua ini adalah hak kontrol sosial bukan mengada-ada mencari-cari kesalahan,” katanya lagi.
LSM SUU pun sudah siap menemukan risiko-risiko seperti Munir dan rekan-rekan lainnya sebagai pejuang masyarakat, nyawa terenggut di ujung peluru maupun mati di tangan preman. “Jika memang ajal mati di tangan preman atau di tangan aparat merupakan sebuah konsekuensi. Kesimpulannya mari semua jangan mudah main kekerasan, karena kekerasan pasti berakhir tidak baik, kalah jadi arang menang jadi abu,” kata Herman.
Satu hal yang harus diperhatikan, menurut Herman jangan dikira dengan menggunakan jasa preman, para LSM berhenti akan tetapi malah menjadi-jadi. Jangan sampai suatu kebijakan yang salah dalam pemerintahan mau dipaksa dengan menggunakan tekanan-tekanan dan paksaan-paksaan preman.
“Sangat aneh memang, level kepala dinas diamankan super ketat oleh para preman-preman. Jadi tidak lagi kelihatan intelektualitas selaku pemerintahan. Kalau ini terus-terusan terjadi, wibawa pemerintah akan menurun. Ingat tujuan aksi bukan untuk perang kepada individu pejabat, tetapi mengkritisi kepada institusi pemerintahan. Jadi gunakan polisi tentara mengamankan jalan aksi-aksi unjuk rasa,” pungkasnya.(06)
0 komentar:
Posting Komentar